KEDIRI,CahayaMediaTimur.com-Setelah peristiwa Cidahu dan Padang, aksi intoleransi memalukan kembali terjadi. Tak tanggung-tanggung, kejadian ini menghantam kota yang baru saja didapuk sebagai salah satu kota paling toleran menurut Setara Institute.
Malang benar nasib ratusan jemaat GKJW Mojoroto Kota Kediri. Pembangunan gerejanya dipaksa berhenti pemerintah kota. Alasannya tidak berijin, padahal mereka telah mengantongi dukungan 65 warga sekitar dan 200an warga jemaat.
Komunitas Kristen Jawa di wilayah Mojoroto telah lama ada sebelum kemerdekaan. Dulunya bernama Kelompok Rukun Warga (KRW) Abraham, sebelum akhirnya menjadi GKJW. Kelompok ini terus bertumbuh di wilayah barat Sungai Brantas Kota Kediri. Sensus 2024 mencatat jumlahnya sekitar 175 kepala keluarga atau sekitar 375 jiwa. Tahun 1995 mereka mendapat hibah tanah dari salah satu warganya. Terletak di Jalan Lintasan Gang IV No. 09, RT 17, RW 05 Kota Kediri. KRW Abraham mengklaim telah mendapat ijin dari walikota/bupati saat itu. Sayangnya, lahan tersebut gagal dibangun karena penolakan warga. Untuk beribadah, jemaat kemudian menyewa lahan di tempat yang sama sejak 1997-2025. Tempatnya dinamakan tempat pembinaan warga (TPW) Mojoroto. Kenapa tidak langsung memggunakan nama “gereja”? Untuk menghindari kesalahpahaman dari warga.
Sekitar Mei 2024, TPW Mojoroto membentuk panitia pembangunan gereja, termasuk mengurus izinnya. Persyaratannya, harus mengantongi dukungan 60 warga sekitar dan 90 warga gereja.
Pdt Puput Yuniatmoko S. Si. mengatakan sudah mendapatkan 65 warga sekitar dan lebih dari 200an warga jemaat. Ada tanda tangan RT dan kelurahan juga. Ia menimpali, sembari mengirimkan foto berkas-berkas. Panitia kemudian mengajukan izin ke FKUB. Tidak mulus. Di sisi lain, ada beberapa aktor luar RT yang menggalang dukungan warga untuk menolak pembangunan gereja.
Mediasi beberapa kali dilakukan dengan melibatkan pemerintah kota, FKUB, dan tokoh-tokoh agama setempat. Beberapa aktor menuntut agar tanda tangan yang telah dikumpulkan panitia pembangunan dianggap tidak ada. Harus mulai lagi dari nol.
“Puncak dari upaya penghentian tersebut dilakukan Minggu, 27 Juli 2025 bertempat di rumah Ketua RT 17. Panitia pembangunan dihakimi massal oleh pihak pemerintahan dan warga dimotori oleh oknum tidak bertanggungjawab,” kata Pdt. Puput dalam rilisnya.
Dia juga menambahkan, keesokan hari, Senin, 28 Juli 2025 Polsek Mojoroto memanggil panitia dan memerintahkan agar pembangunan dihentikan total.
“Merespon desakan dan persekusi tersebut, dengan berat hati dan tangisan merintih, Panitia Pembangunan Gedung Gereja menghentikan pembangunan untuk waktu yang belum ditentukan. Saya sudah buntu, Gus,” kata Pdt. Puput pada Gus Aan
Aan Ansori akrab di panggil Gus Aan koordinator JIAD (Jaringan Islam Anti Diskriminasi) mengatakan sangat menyayangkan kejadian ini. Saya mendesak Walikota Kediri untuk tidak tinggal diam, demikian juga FKUB dan juga Nahdlatul Ulama. Kediri adalah salah satu tanah toleransi paling gembur di Jawa Timur. Kota ini tidak boleh dibiarkan kering, gersang dan berubah menakutkan bagi kelompok Kristen. Walikota perlu bertindak, terutama untuk berdialog dengan mereka yang masih belum sadar pentingnya toleransi di Kediri.