Piru,CahayaMediaTimur.com-Pemberitaan mengenai pengapalan 10.000 ton batu gamping dari Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) ke PT Harita di Pulau Obi pada awal September 2025 telah menyedot perhatian publik. Namun, perdebatan tidak boleh berhenti pada angka dan volume semata.
Salah satu akademisi kabupaten SBB, Gerard Wakanno menilai, momen ini harus menjadi titik tolak untuk sebuah refleksi mendalam, sudah maksimalkah kita mengelola anugerah alam ini untuk kesejahteraan rakyat SBB yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Batu gamping sering dipandang sebelah mata. Padahal, ia adalah batuan sedimen yang menjadi tulang punggung berbagai industri strategis,” ujar Wakanno di Piru, Minggu (07/9/2025).
Dikatakan, dalam konteks SBB, batu gamping adalah kunci dari operasional smelter nikel sebagai flux untuk memurnikan nikel sekaligus bahan baku vital untuk pertanian, perkebunan, bahkan industri minyak dan gas. Dengan kata lain, SBB tidak hanya menyumbang bahan tambang, tetapi juga mendukung roda industri nasional.
“Namun pertanyaan kritisnya adalah, apakah pengiriman bahan mentah dalam skala besar seperti ini adalah puncak dari aspirasi ekonomi kita. Jawabannya tentu tidak,” tandasnya.
Aktivitas ekspor bahan mentah lanjut Wakanno, meski memberikan pemasukan, namun hanya menyentuh kulit terluar dari nilai ekonomi yang sesungguhnya. Potensi sebenarnya terletak pada nilai tambah yang bisa diciptakan jika SBB berani beralih dari pengekspor bahan mentah menjadi sentra industri pengolahan.
“Mengapa kita tidak mengolahnya di tempat dengan mendirikan pabrik penggilingan kapur pertanian, pabrik kalsium karbonat precipitated, atau bahkan industri kapur tohor, nilai jual batu gamping bisa berlipat ganda,” tandasnya.
Menurutnya, manfaat dari adanya pabrik kalsium karbonat precipitated jelas. Yang pertama meningkatkan PAD secara signifikan melalui pajak dan retribusi, yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Yang kedua, industri pengolahan akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dan berkualitas, tidak hanya sebagai penambang, tetapi sebagai ahli kimia, operator mesin, tenaga teknik, dan profesional lainnya sekaligus mengurangi arus urbanisasi anak muda SBB.
Untuk mewujudkan hal ini kata Wakanno, diperlukan kemauan politik dan kolaborasi yang kuat. Pemerintah Daerah SBB harus segera merumuskan sebuah Rencana Induk Pengembangan Industri Pengolahan Mineral, yang tidak hanya mengatur tata kelola tambang, tetapi juga memberikan insentif bagi investor yang bersedia membangun pabrik pengolahan di wilayah tersebut.
“Kepada pelaku usaha dalam hal ini PT Harita Nickel, kami menyerukan Lihatlah SBB bukan hanya sebagai sumber bahan baku, tetapi sebagai mitra industri yang menjanjikan. Bangunlah pabrik pengolahan di sini, libatkan tenaga dan pakar lokal, serta tumbuhkan bersama ekosistem industri yang berkelanjutan,” ujar Wakanno.
Pada kesempatan ini dirinya juga meminta masyarakat dan akademisi tetap kritis, namun dengan wawasan yang membangun. Dorong generasi muda untuk mempelajari ilmu-ilmu terkait geologi, teknik pertambangan, dan teknik kimia agar mereka siap menjadi pemilik dan pengelola industri di tanah sendiri.
“Batu gamping adalah warisan purba yang menyimpan masa depan. Jangan biarkan ia hanya menjadi angka statistik pengapalan. Dengan pengelolaan yang bijak, cerdas, dan visioner, batu ini dapat menjadi fondasi kokoh bagi kemakmuran dan keadilan bagi seluruh masyarakat SBB,” pungkasnya