Polimik Lahan Adat Kembali Mencuat. Rutumalessy:Lahan Kawa Itu Warisan Leluhur Bukan Untuk Diperjualbelikan

oleh -0 views

Piru,CahayaMediaTimur.com-Polemik lahan adat kembali mencuat di Negeri Kawa, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Warga mempertanyakan kejelasan status pengelolaan lahan seluas 805,07 hektare yang digunakan untuk proyek perkebunan pisang abaka oleh PT Spice Islands Maluku (SIM).

Awalnya, masyarakat meyakini lahan tersebut hanya akan dikelola melalui perjanjian kontrak. Namun, dokumen yang beredar justru menunjukkan adanya pelepasan hak atas tanah dan tanam tumbuh.

Berdasarkan Berita Acara Rapat Adat Soa Nuruwe dan Soa Ely pada 14 Februari 2021 yang diperoleh media ini menyebutkan, warga menyetujui masuknya PT SIM dengan syarat lahan hanya berstatus Hak Guna Usaha (HGU) selama 35 tahun, dan dikembalikan setelah kontrak berakhir. Kesepakatan ini diperkuat oleh Surat Pernyataan Desember 2020 yang ditandatangani perwakilan dari kedua marga.

Namun, dokumen lain, yakni Surat Kesepakatan Pelepasan Hak dan Kepentingan Atas Tanah tertanggal 30 Juni 2021, menyebutkan pelepasan hak atas tanah seluas 805,07 hektare, termasuk kawasan hutan negara, dengan pembayaran ganti rugi lebih dari Rp4 milyar.

Kondisi ini mencuat dalam pertemuan antara Pemerintah Daerah, DPRD, perwakilan karyawan, perusahaan, dan Pemerintah Desa, yang memicu keresahan warga.

Sorotan paling keras datang dari Mozes Rutumalessy, tokoh pemuda SBB. Ia menilai perusahaan tidak transparan sejak awal dan merugikan masyarakat adat.

“PT SIM harus bertanggung jawab. Dari awal masyarakat diberitahu ini kontrak, tapi ternyata ada dokumen pelepasan hak. Ini dugaan penipuan terhadap masyarakat adat,” tegasnya.

Mozes juga mengingatkan bahwa lahan tersebut memiliki nilai sejarah dan budaya yang tak ternilai.

“Lahan ini bukan sekadar tanah, ini warisan leluhur. Kalau dilepaskan, maka hilang hak masyarakat untuk generasi mendatang. Jangan jadikan masyarakat adat korban permainan dokumen,” ujarnya.

Ia pun mendesak pemerintah daerah untuk tidak berdiam diri.

“Pemkab SBB harus tegas berpihak pada rakyat. Kalau ada indikasi manipulasi dokumen, harus dibuka ke publik dan diproses secara hukum,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua BPD Desa Kawa, Rusli Elly, menegaskan bahwa sejak awal masyarakat memahami lahan tersebut hanya dikontrakkan, bukan dilepaskan. Ia pun menuntut PT SIM untuk memberikan penjelasan secara transparan.

Senada dengan itu, Ketua BPD Desa Eti, Lexi Tuheteru, menyatakan pihaknya menolak investasi jika status lahan dialihkan tanpa kesepakatan kontrak yang jelas.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan melalui Eko Ansari, HOP PT SIM, belum memberikan keterangan saat dimintai tanggapan di Kantor Bupati. Pemerintah daerah juga belum menyampaikan respons resmi.

Kasus ini kini menjadi sorotan masyarakat luas. Warga berharap ada kejelasan, transparansi, dan kepastian hukum dalam pengelolaan lahan adat Negeri Kawa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.